Makalah
Kebutuhan Ketenagaan Kesehatan Di Indonesia
Di Susun Oleh :
Al Musthofa Ibnu Hasan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan
adalah merupakan hak asasi manusia. Pada pasal 28 H dinyatakan bahwa setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Selanjutnya pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan bahwa negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk
menyehatkan yang sakit dan berupaya mempertahankan yang sehat untuk tetap
sehat. Berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa
kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian
kesehatan selain sebagai hak asasi manusia, kesehatan juga merupakan suatu
investasi.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N)
2005 - 2025, dinyatakan bahwa dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas dan berdaya saing, maka kesehatan bersama-sama dengan pendidikan
dan peningkatan daya beli keluarga/masyarakat adalah tiga pilar utama untuk
meningkatkan kualitas SDM dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Dalam
RPJP-N, dinyatakan pula pembangunan nasional di bidang kesehatan diarahkan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat
terwujud. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan didasarkan kepada
perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta
pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus kepada penduduk rentan, antara
lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut dan keluarga miskin. Dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, juga diperhatikan dinamika kependudukan,
epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan IPTEK, serta
globalisasi dan demokratisasi dengan semangat kemitraan dan kerjasama lintas
sektoral.
Berbagai studi menunjukkan bahwa tenaga kesehatan merupakan
kunci utama dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Tenaga
kesehatan memberikan kontribusi hingga 80% dalam keberhasilan pembangunan
kesehatan. Dalam laporan WHO tahun 2006, Indonesia termasuk salah satu dari 57
negara yang menghadapi krisis SDM kesehatan, baik jumlahnya yang kurang maupun
distribusinya.
Menghadapi era globalisasi, adanya suatu Rencana
Pengembangan Tenaga Kesehatan yang menyeluruh sangat diperlukan. Di era
globalisasi berarti terbukanya negara-negara di dunia bagi produk-produk baik
barang maupun jasa yang datang dari negara manapun dan mau tidak mau harus
dihadapi. Di bidang kesehatan, Indonesia mengupayakan dalam kepentingan
perdagangan internasional jasa melalui WTO (World Trade Organization),
CAFTA (China-ASEAN Free Trade Agreement), AFAS (ASEAN Framework
Agreement on Services) dan perjanjian bilateral. Salah satu moda dalam
pasokan perdagangan jasa internasional adalah migrasi sumber daya manusia.
Dalam hubungan ini, melalui Sidang Umum Kesehatan Sedunia Tahun 2010,
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) telah mengadopsi Global Code of Practice
on the International Recruitment of Health Personnel. Walaupun bersifat
sukarela, Indonesia sebagai negara anggota WHO, perlu ikut mendukung dan
melaksanakan prinsip-prinsip dan rekomendasi Global Code dalam migrasi
internasional tenaga kesehatan. Semua ini perlu dapat diakomodasikan dalam
Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana perkembangan dan masalah pembangunan kesehatan ?
2.
Bagaiaman perkembangan dan masalah pengembangan kesehatan ?
3.
Bagaimana
perencanaan kebutuhan ketenagaan kesehatan ?
4.
Bagaimana
Pendayagunaan tenaga kesehatan ?
5.
Isu
strategis pengembangan tenaga kesehatan ?
C. Maksud Dan Tujuan
Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011 - 2025
merupakan rencana jangka panjang dengan maksud memberikan arah dan acuan bagi
seluruh pemangku kepentingan dalam pengembangan dan pemberdayaan tenaga
kesehatan secara komprehensif dan menyeluruh.
Tujuan disusunnya Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan
Tahun 2011 - 2025 adalah untuk mewujudkan sinergisme dan upaya yang saling
mendukung serta melengkapi antara pemerintah dan masyarakat termasuk swasta
yang memiliki kepentingan terhadap pengembangan tenaga kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Dan Masalah Pembangunan
Kesehatan
Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara
berkesinambungan telah berhasil meningkatkan status kesehatan masyarakat.
Kinerja sistem kesehatan telah menunjukkan peningkatan, antara lain ditunjukkan
dengan peningkatan status kesehatan, yaitu: penurunan angka kematian bayi (AKB)
dari 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 34 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2007. Angka kematian ibu (AKI) juga mengalami
penurunan dari 318 per 100.0000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 228 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Sejalan dengan penurunan angka kematian
bayi, umur harapan hidup (UHH) meningkat dari 68,6 tahun pada tahun 2004
menjadi 70,5 tahun pada tahun 2007. Demikian pula telah terjadi penurunan
prevalensi kekurangan gizi pada balita dari 29,5% pada akhir tahun 1997 menjadi
sebesar 18,4% pada tahun 2007 (Riskesdas 2007), dan 17,9% (Riskesdas 2010).
Namun perbaikan indikator kesehatan masyarakat tersebut
masih belum seperti yang diharapkan. Upaya percepatan pencapaian indikator
kesehatan dalam lingkungan strategis baru harus terus diupayakan dengan menyelenggarakan
pembangunan kesehatan sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN
disebutkan bahwa tantangan pembangunan bidang kesehatan jangka panjang yang
dihadapi antara lain adalah mengurangi kesenjangan status kesehatan masyarakat
dan akses terhadap pelayanan kesehatan antar wilayah, tingkat sosial ekonomi,
dan gender; meningkatkan jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan yang kurang
memadai; meningkatkan akses terhadap fasilitas kesehatan; dan mengurangi beban
ganda penyakit yaitu pola penyakit yang diderita oleh sebagian besar masyarakat
adalah penyakit infeksi menular, namun pada waktu yang bersamaan terjadi
peningkatan penyakit tidak menular serta meningkatnya penyalahgunaan narkotik
dan obat-obat terlarang.
Dalam kaitannya dengan tantangan tersebut diatas dan
mengantisipasi pelaksanaan SKN sebagai pengelolaan kesehatan, isu satrategis
yang dihadapi pembangunan kesehatan dewasa ini dan dimasa depan adalah: 1)
Dalam perubahan epidemiologis dan demografi, tampak derajat kesehatan
masyarakat pada umumnya masih rendah, 2) Mutu, pemerataan dan keterjangkauan
upaya kesehatan belum optimal. Perhatian pada masyarakat miskin, rentan, dan
beresiko tinggi masih kurang memadai, 3) Penelitian dan pengembangan kesehatan
belum sepenuhnya menunjang pembangunan kesehatan, 4) Penggalian pembiayaan
masih terbatas dan pengalokasian serta pembelanjaan pembiayaan kesehatan masih
kurang tepat, 5) Pemerataan dan mutu sumber daya manusia kesehatan belum
sepenuhnya menunjang penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Perencanaan,
pengadaan, pendayagunaan serta pembinaan dan pengawasan mutu sumber daya
manusia kesehatan pada umumnya masih terbatas kemampuannya, 6) Ketersediaan,
keamanan, manfaat, dan mutu sumber daya obat, serta keterjangkauan, pemerataan,
dan mudahnya diakses masyarakat umumnya masih kurang, 7) Manajemen/
administrasi, informasi, dan hukum kesehatan masih kurang memadai, 8)
Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelayanan, advokasi kesehatan serta
pengawasan sosial dalam pembangunan kesehatan belum banyak dilaksanakan, dan 9)
Berbagai lingkungan strategis yang terkait masih kurang mendukung pembangunan
kesehatan.
B. Perkembangan dan Masalah
Pengembangan Tenaga Kesehatan
1. Keadaan tenaga kesehatan.
Pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu
prioritas dari 8 (delapan) fokus prioritas pembangunan kesehatan dalam kurun
waktu 2010 – 2014. Penetapan pengembangan sumber daya manusia kesehatan sebagai
salah satu prioritas adalah karena Indonesia masih menghadapi masalah tenaga
kesehatan, baik jumlah, jenis, kualitas maupun distribusinya.
Rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk belum memenuhi
target yang ditetapkan sampai dengan tahun 2010. Sampai dengan tahun 2008,
rasio tenaga kesehatan untuk dokter spesialis per 100.000 penduduk adalah
sebesar 7,73 dibanding target 9; dokter umum 26,3 dibanding target 30; dokter
gigi 7,7 dibanding target 11; perawat 157,75 dibanding target 158; dan bidan
43,75 dibanding target 75.
Dari pendataan tenaga kesehatan pada tahun 2010,
ketersediaan tenaga kesehatan di rumah sakit milik pemerintah (Kementerian
Kesehatan dan Pemerintah Daerah), telah tersedia 7.336 dokter spesialis, 6.180
dokter umum, 1.660 dokter gigi, 68.835 perawat/bidan, 2.787 S-1 Farmasi/Apoteker,
1.656 asisten apoteker, 1.956 tenaga kesehatan masyarakat, 4.221 sanitarian,
2.703 tenaga gizi, 1.598 tenaga keterapian fisik, dan 6.680 tenaga keteknisian
medis.
2. Pengadaan/Pendidikan Tenaga
Kesehatan.
Pengembangan sistem pendidikan tenaga kesehatan adalah untuk
membentuk keahlian dan keterampilan tenaga kesehatan di bidang-bidang teknologi
yang strategis serta mengantisipasi timbulnya kesenjangan keahlian sebagai
akibat kemajuan teknologi. Pengembangan sistem pendidikan tenaga kesehatan tidak
terlepas dari sistem pendidikan nasional.
Pengembangan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung
jawab Kementerian Pendidikan Nasional, namun pembinaan teknis pendidikan tenaga
kesehatan merupakan kewenangan Kementerian Kesehatan. Dalam upaya pengembangan
sistem pendidikan tenaga kesehatan, maka perlu perpaduan antara Kementerian
Pendidikan Nasional dan Kementerian Kesehatan. Pada era otonomi daerah
diterbitkan beberapa keputusan-keputusan antara lain, Keputusan Mendiknas No.
234 Tahun 2000 tentang Pedoman Pendidikan Tinggi dan Peraturan Menkes No. 1192
Tahun 2004 tentang Pendirian Diploma Bidang Kesehatan dapat diselenggarakan
berdasarkan ijin dari Menteri Pendidikan Nasional setelah mendapat rekomendasi
dari Menkes Republik Indonesia.
Perkembangan institusi pendidikan tenaga kesehatan cukup
tinggi. Jenjang pendidikan yang besar pertumbuhannya adalah jenjang pendidikan
D3 dan S1. Berikut ini adalah perkembangan program studi di bidang kesehatan
dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.
C.
Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan
Yang dimaksud dengan perencanaan
tenaga kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah, dan kualifikasi tenaga
kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.(Depkes, 2004).
Perencanaan tenaga kesehatan diatur melalui PP No.32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan antar lain bahwa pengadaan
dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kesehatan yang merata bagi masyarakat.
Perencanaan nasional tenaga
kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana
kesehatan, serta jenis dan jumlah yang sesuai. Perencanaan nasional tenaga
kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Sebagai turunan dari PP tersebut,
telah diterbitkan beberapa Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes).
Kepmenkes No.850/Menkes/SK/XII/2000
Tahun 2000 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang kebijakan perencanaan
tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan para perencanan pemerintah,
masyarakat dan semua profesi disemua tingkatan. Kepmenkes No.
81/Menkes/SK/I/2004 Tahun 2004 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang
pedoman penyusunan perencanaan sumberdaya kesehatan di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, serta rumah sakit.
Pada Kepmenkes tersebut disediakan
pula menu tentang metode perencanaan tenaga kesehatan untuk dipilih sesuai
dengan kemauan dan kemampuan. Dalam hal perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan
terdapat empat metoda penyusunan yang dapat digunakan yaitu;
1. Health Need Method, yaitu
perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas epidemiologi
penyakit utama yang ada pada masyarakat.
2. Health Service Demand, yaitu
perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas permintaan akibat
beban pelayanan kesehatan.
3. Health Service Target Method yaitu
perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas sarana pelayanan
kesehatan yang ditetapkan, misalnya Puskesmas, dan Rumah Sakit.
4. Ratios Method, yaitu perencanaan
kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan pada standar/rasio terhadap nilai
tertentu.
Dalam prakteknya di Departemen Kesehatan lebih banyak
menggunakan Ratios Method dengan proses perhitungan sebagai berikut:
1. Menentukan/memperkirakan rasio
terhadap suatu nilai, misalnya rasio tenaga kesehatan dengan penduduk, dengan
jumlah tempat tidur RS, dengan Puskesmas,
2. Membuat proyeksi nilai tersebut
kedalam sasaran/ target tertentu,
3. Menghitung perkiraan, yaitu dengan
cara membagi nilai proyeksi dengan rasio. Contoh, ratio tenaga kesehatan:
tempat tidur di RS, di Indonesia, misalnya 1:5000, di India 1: 2000, di Amerika
1:500 (Suseno, 2005)
Dari analisis perencanaan kebutuhan tenaga, secara umum
dapat dikatakan tenaga kesehatan di Indonesia baik dari segi jumlah, jenis,
kualifikasi, dan mutu dan penyebarannya masih belum memadai. Beberapa jenis
tenaga kesehatan yang baru masih diperlukan pengaturannya. Beberapa jenis
tenaga kesehatan masih tergolong langka, dalam arti kebutuhannya besar tetapi
jumlah tenaganya kurang karena jumlah institusi pendidikannya terbatas dan
kurang diminati.
D.
PendayagunaanTenaga Kesehatan
Pendayagunaan tenaga kesehatan
adalah upaya pemerataan, pembinaan, dan pengawasan tenaga kesehatan. Beberapa
permasalahan klasik dalam pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain:
1. Kurang serasinya antara kemampuan
produksi dengan pendayagunaan
2. Penyebaran tenaga kesehatan yang
kurang merata
3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang
sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan
4. Pengembangan karir kurang berjalan
dengan baik
5. Standar profesi tenaga kesehatan
belum terumuskan dengan lengkap
6. Sistem penghargaan dan sanksi tidak
berjalan dengan semestinya.
Dalam hal pendayagunaan dan
penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga periode perkenmbangan
kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus melaksanakan
kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan
kepangkatan III A atau dapat ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI. Masa bakti
untuk PNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar Jawa. Pada periode
ini berhasil diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi dengan
menggunakan formasi Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga
dokter.
Periode 1992-2002 ditetapkan
kebijakan zero growth personel. Dengan demikian hampir tidak ada pengangkatan
tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga medis dilakukan
melalui program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas Permenkes No.
1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2 sampai 3 tahun.
Dalam periode ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter gigi
yang tersebar di seluruh tanah air. Pada tahun 2002 terjadi beberapa
permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu:
1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi
favorit terlalu lama
2. Usia menjadi penghambat untuk
melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis
3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji
4. Besarnya gaji tidak signifikan jika
dibandingkan dengan dokter PNS
5. Adanya persyaratan jabatan sebagai
Kepala Puskesmas
6. Ada anggapan melanggar hak azasi
masusia (HAM) karena dianggap sebagai kerja paksa.
Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter
gigi PTT mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Bukan merupakan suatu kewajiban,
tetapi bersifat sukarela
2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan
antrian/daftar tunggu
3. Semua provinsi terbuka untuk
pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan
4. Rekrutmen, seleksi administratif
berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif),
1. domisili, tahun kelulusan dan
lamanya menunggu dalam antrian
5. Diprioritaskan bagi dokter dan
dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti
6. Dokter pasca PTT dapat diangkat
kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum
2. terpenuhi
7. Pengurangan lama masa bakti bagi
daerah yang kurang diminati seperti daerah terpencil dan daerah pemekaran.
Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi
gaji yang tidak cukup menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar
dan kaya (misalnya Jabar, Jateng, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Kaltim).
Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada umumnya kurang peminat karena
adanya alternatif pilihan di provinsi lain.
Dalam hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan
Desember 2004 jumlah dokter spesialis (PNS) di seluruh wilayah Indonesia
sebanyak 11.057 orang. Jumlah RS vertikal dan Daerah sebanyak 420 RS. Jumlah
dokter spesialis yang bertugas di RS milik Pemerintah sebanyak 7.461 orang,
terdapat kekurangan sebanyak 3.868 orang. Rata-rata produksi dan penempatan
tenaga dokter spesialis per tahun sebanyak 509 orang.
Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter
spesialis harus terlebih dulu ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian
(PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999 diberlakukan kebijakan penundaan
masa bakti bagi dokter spesialis yang langsung diterima pendidikan spesialis.
Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi dokter spesialis bagi daerah
tertentu, misalnya di provinsi NAD cukup menarik minat untuk bertugas di
daerah.
Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan,
sebagai tenaga yang diharapkan berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan
kematian ibu melahirkan. Seperti halnya dengan dokter, pengangkatan tenaga
bidan menggunakan sistem PTT dengan karakteristik kebijakan sebagai berikut:
1. Penugasan selama 3 tahun di daerah
biasa dan 2 tahun di daerah terpencil
2. Penugasan dapat diperpanjang dua
kali di desa yang sama dan dimungkinkan untuk diangkat kembali sebagai bidan
PTT sesuai kebutuhan.
Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di
seluruh tanah air sebanyak 32.470 orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah
desa. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan Bidan PTT antara lain pada
umumnya mereka berharap dapat diangkat sebagai PNS (peningkatan status),
kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji antara daerah terpencil
dengan sangat terpencil relatif kecil sehingga tidak menarik. (Ruswendi, 2005)
Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan
belum terlaksana dengan baik. Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan
tersebut dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan
pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan oleh institusi pendidikan, registrasi
dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatn, uji kompetensi dilakukan oleh
setiap organisasi profesi, sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh
pemerintah. Pengaturan ini memerlukan dukungan peraturan perundangan yang kuat.
Sampai saat ini baru profesi kedokteran yang sudah memiliki UU Praktik
Kedokteran.
E.
Isu Strategis Pengembangan Tenaga
Kesehatan
Menilik perkembangan tenaga kesehatan sebagaimana telah
diuraikan diatas, dewasa ini dan ke depan masih dihadapi isu strategis atau
masalah pokok dalam pengembangan tenaga kesehatan sebagai berikut:
1.
Pengembangan tenaga kesehatan belum
dapat memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan untuk pelayanan/pembangunan
kesehatan. Tenaga kesehatan terus membaik dalam jumlah, kualitas dan
penyebarannya, namun masih belum mampu memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
di seluruh wilayah terutama pada daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan
kepulauan. Mutu tenaga kesehatan belum memiliki daya saing dalam memenuhi
permintaan tenaga kesehatan dari luar negeri.
2.
Regulasi untuk mendukung upaya
pengembangan tenaga kesehatan masih terbatas.
3.
Perencanaan kebutuhan tenaga
kesehatan masih perlu ditingkatkan dan belum didukung dengan sistem informasi
tenaga kesehatan yang memadai. Rencana kebutuhan tenaga kesehatan yang
menyeluruh belum disusun sesuai yang diharapkan, sehingga belum sepenuhnya
dapat dipergunakan sebagai acuan dalam pengadaan/pendidikan tenaga kesehatan,
pendayagunaan tenaga kesehatan, serta pembinaan dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan.
4.
Masih kurang serasinya antara
kebutuhan dan pengadaan/pendidikan berbagai jenis tenaga kesehatan. Kajian
jenis tenaga kesehatan yang dibutuhkan tersebut belum dilakukan sebagaimana
mestinya. Kualitas hasil pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan pada umumnya
masih kurang memadai. Masih banyak institusi pendidikan tenaga kesehatan yang
belum terakreditasi dan memenuhi standard. Hal ini akan berdampak terhadap
kompetensi dan kualitas lulusan tenaga kesehatan.
Permasalahan
pendidikan tenaga kesehatan pada umumnya bersifat sistemik, antara lain
terdapat ketidaksesuaian kompetensi lulusan pendidikan dengan pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan masyarakat, lemahnya kerjasama antara pelaku dalam
pembangunan kesehatan dan pendidikan tenaga kesehatan, lebih dominannya
pendidikan tenaga kesehatan yang berorientasi ke Rumah Sakit dibandingkan
dengan Primary Health Care.
5.
Dalam pendayagunaan tenaga
kesehatan, pemerataan dan pemanfaatan tenaga kesehatan yang berkualitas masih
kurang, utamanya di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, kepulauan dan
daerah yang kurang diminati. Hal ini disebabkan oleh disparitas sosial ekonomi,
budaya maupun kebijakan pemerintah daerah termasuk kondisi geografis antar
daerah mengurangi minat tenaga kesehatan untuk ditempatkan di daerah tersebut.
Selain itu pengembangan dan pelaksanaan pola pengembangan karir, sistem
penghargaan dan sanksi belum dilaksanakan sesuai yag diharapkan. Pengembangan
profesi yang berkelanjutan (Continue Professional Development= CPD), serta
Training Need Assesment (TNA) masih perlu dikembangkan.
6.
Pembinaan dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan.
Registrasi dan sertifikasi tenaga kesehatan masih terbatas pada tenaga dokter
dan dokter gigi. Sosialisasi dan penerapan peraturan perundang-perundangan di
bidang pengembangan tenaga kesehatan belum dilaksanakan secara memadai.
7.
Sumber daya pendukung pengembangan
dan pemberdayaan tenaga kesehatan masih terbatas. Sistem informasi tenaga
kesehatan belum sepenuhnya dapat menyediakan data yang akurat, terpercaya dan
tepat waktu. Dukungan sumber daya pembiayaan dan lain-lain sumber daya belum
memadai.
Dalam upaya menjawab isu strategis atau masalah pokok dalam
pengembangan tenaga kesehatan, Indonesia memiliki beberapa modal dasar antara
lain:
1.
Telah disahkannya beberapa aturan
perundang-undangan terkait tenaga kesehatan.
2.
Ikut sertanya Indonesia dalam
meratifikasi aturan-aturan di tingkat Internasional terkait tenaga kesehatan
seperti ‘International Code of Practice’.
3.
Mulai terbangunnya komitmen diantara
pemangku kepentingan terkait pengembangan tenaga kesehatan seperti terbentuknya
Tim Koordinasi dan Fasilitasi Pengembangan Tenaga Kesehatan.
4.
Kepercayaan dunia Internasional
semakin meningkat terhadap kualitas tenaga kesehatan Indonesia. Hal ini
ditandai dengan semakin banyaknya permintaan tenaga kesehatan Indonesia untuk
bekerja di luar negeri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perencanaan tenaga kesehatan adalah
upaya penetapan jenis, jumlah, dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pembangunan kesehatan.(Depkes, 2004). Perencanaan tenaga kesehatan
diatur melalui PP No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam Peraturan
Pemerintah ini dinyatakan antar lain bahwa pengadaan dan penempatan tenaga
kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata
bagi masyarakat.
Perencanaan nasional tenaga
kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana
kesehatan, serta jenis dan jumlah yang sesuai. Perencanaan nasional tenaga
kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Sebagai turunan dari PP tersebut,
telah diterbitkan beberapa Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes).
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekeliruan untuk itu kami menerima saran dan
kritik anda guna menyusun makalah yang lebih baik. Trimakasih…..!!!
DAFTAR PUSTAKA
1. Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
2. Republik Indonesia,
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
3. Republik Indonesia,
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
4. Republik Indonesia,
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025.
5. Republik Indonesia,
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
6. Republik Indonesia,
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
7. Peraturan Pemerintah RI
No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
8. Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun 2010 Tentang Administrasi Prajurit Tentara Nasional Indonesia.
9. Peraturan Presiden
Republik Indonesia, No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar