Masjid Al-Aqsa, juga ditulis Al-Aqsha (bahasa
Arab:المسجد الاقصى,
Al-Masjid Al-Aqsha (bantuan·info), arti harfiah:
"masjid terjauh") adalah salah satu tempat suci agama
Islam yang menjadi bagian dari kompleks bangunan suci di Kota Lama Yerusalem (Yerusalem Timur). Kompleks
tempat masjid ini (di dalamnya juga termasuk Kubah Batu) dikenal oleh umat
Islam
dengan sebutan Al-Haram Asy-Syarif atau "tanah suci
yang mulia". Tempat ini oleh umat Yahudi
dan Kristen dikenal pula dengan sebutan Bait
Suci (bahasa Ibrani: הַר הַבַּיִת, Har haBáyit, bahasa Inggris: Temple Mount), suatu tempat
paling suci dalam agama Yahudi yang umumnya dipercaya
merupakan tempat Bait Pertama dan Bait Kedua dahulu pernah berdiri. Masjid Al-Aqsa secara
luas dianggap sebagai tempat suci ketiga oleh umat Islam. Muslim percaya bahwa Muhammad
diangkat ke Sidratul Muntaha dari tempat ini setelah
sebelumnya dibawa dari Masjid Al-Haram di Mekkah
ke Al-Aqsa dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Kitab-kitab hadist
menjelaskan bahwa Muhammad mengajarkan umat Islam berkiblat ke arah Masjid
Al-Aqsa (Baitul Maqdis) hingga 17 bulan setelah hijrah ke Madinah.
Setelah itu kiblat salat adalah Ka'bah
di dalam Masjidil Haram, Mekkah, hingga sekarang. Pengertian
Masjid Al-Aqsa pada peristiwa Isra' Mi'raj dalam Al-Qur'an (Surah Al-Isra' ayat 1) meliputi seluruh kawasan Al-Haram
Asy-Syarif.
Masjid Al-Aqsa pada awalnya adalah
rumah ibadah kecil yang didirikan oleh Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin, tetapi telah diperbaiki dan
dibangun kembali oleh khalifah Umayyah Abdul Malik dan diselesaikan oleh putranya Al-Walid pada tahun 705 Masehi. Setelah
gempa bumi tahun 746, masjid ini hancur seluruhnya dan dibangun kembali oleh
khalifah Abbasiyah Al-Mansur pada tahun 754, dan dikembangkan lagi oleh
penggantinya Al-Mahdi pada tahun 780. Gempa berikutnya menghancurkan
sebahagian besar Al-Aqsa pada tahun 1033, namun dua tahun kemudian khalifah Fatimiyyah Ali Azh-Zhahir membangun kembali masjid ini yang
masih tetap berdiri hingga kini. Dalam berbagai renovasi berkala yang
dilakukan, berbagai dinasti kekhalifahan
Islam telah melakukan penambahan terhadap masjid dan kawasan sekitarnya,
antara lain pada bagian kubah,
fasad,
mimbar,
menara,
dan interior bangunan. Ketika Tentara Salib menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099, mereka menggunakan masjid ini
sebagai istana dan gereja, namun fungsi masjid dikembalikan seperti semula
setelah Shalahuddin merebut kembali
kota itu. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih lanjut dilakukan pada
abad-abad kemudian oleh para penguasa Ayyubiyah, Mamluk,
Utsmaniyah, Majelis Tinggi Islam, dan Yordania.
Saat ini, Kota Lama Yerusalem berada di bawah pengawasan Israel, tetapi masjid
ini tetap berada di bawah perwalian lembaga wakaf
Islam pimpinan orang Palestina.
Pembakaran Masjid Al-Aqsa pada
tanggal 21 Agustus 1969
telah mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam yang saat
ini beranggotakan 57 negara.
Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Shalahuddin Al-Ayyubi
terbakar habis. Dinasti Bani Hasyim penguasa Kerajaan Yordania
telah menggantinya dengan mimbar baru yang dikerjakan di Yordania,
meskipun ada pula yang menyatakan bahwa mimbar buatan Jepara digunakan di masjid ini.
Nama Masjid al-Aqsa bila
diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, maka ia berarti
"masjid terjauh". Nama ini berasal dari keterangan dalam Al-Qur'an
pada Surah Al-Isra' ayat 1 mengenai Isra Mi'raj. Isra Mi'raj adalah perjalanan
yang dilakukan Muhammad dari Masjid Al-Haram menuju Masjid Al-Aqsa, dan kemudian
naik ke surga. Dalam kitab Shahih Bukhari dijelaskan bahwa Muhammad dalam
perjalanan tersebut mengendarai Al-Buraq.
Istilah "terjauh" dalam hal ini digunakan dalam konteks yang berarti
"terjauh dari Mekkah".
Selama berabad-abad yang dimaksud
dengan Masjid Al-Aqsa sesungguhnya tidak hanya masjid saja, melainkan juga area
di sekitar bangunan itu yang dianggap sebagai suatu tempat yang suci. Perubahan
penyebutan kemudian terjadi pada masa pemerintahan kesultanan Utsmaniyah (kira-kira abad ke-16
sampai awal 1918), dimana area kompleks di sekitar masjid disebut sebagai Al-Haram Asy-Syarif, sedangkan bangunan
masjid yang didirikan oleh Umar bin Khattab disebut sebagai Jami' Al-Aqsa
atau Masjid Al-Aqsa.
Sejarah
Pra
konstruksi
Area masjid ini dahulu adalah bagian
perluasan pembangunan bukit oleh Raja Herodes Agung, yang dimulai pada tahun 20 SM.
Herodes memerintahkan tukang batu untuk memotong permukaan batu di sisi timur
dan selatan bukit, dan melapisinya. Sisa-sisa pembangunan tersebut saat ini
masih dapat ditemukan di beberapa lokasi. Ketika Bait Kedua masih berdiri, situs tempat masjid saat ini
berdiri disebut dengan nama Serambi Salomo, dan pada tiap sisinya terdapat
gudang kuil yang dinamakan chanuyot,
yang memanjang sampai ke sisi selatan bukit. Konstruksi tiang-tiang kolom besar
persegi di bagian utara masjid serta tembok-temboknya, baru-baru ini ditetapkan
memiliki usia jauh lebih tua daripada yang diperkirakan sebelumnya oleh
peneliti-peneliti terdahulu (berdasarkan tulisan para saksi mata dari masa
itu), yaitu bahwa konstruksi tersebut berasal dari masa kekuasaan Romawi.
Tembok-tembok tersebut dibangun kembali atau diperkuat tidak lama setelah
penghancuran Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Struktur bawah tanah bangunan ini
berasal dari masa kembalinya orang Yahudi dari pembuangan Babilonia mereka, yaitu 2.300
tahun yang lalu. Situasi politik telah menyebabkan penggalian lebih lanjut di
area tersebut tidak memungkinkan. Pada saat gempa bumi tahun 1930-an merusak
masjid ini, penanggalan atas beberapa bagian yang terbuat dari kayu sempat
dilakukan, yang menunjukkan kurun 900 SM. Kayu-kayu tersebut adalah cypress
(sejenis cemara) dan akasia.
Jenis yang disebut terakhir menurut Alkitab
digunakan oleh Raja Salomo
dalam konstruksi bangunan-bangunannya di bukit tersebut pada sekitar 900 SM.
Bersama dengan Bait Suci, chanuyot yang ada ikut hancur oleh serangan Kaisar Romawi Titus (saat itu masih jenderal) pada
tahun 70. Kaisar Yustinianus membangun sebuah gereja
Kristen di situs ini pada tahun 530-an, yang dipersembahkan bagi Perawan Maria dan dinamakan
"Gereja Bunda Kita". Gereja ini belakangan dihancurkan oleh Kaisar Sassania Khosrau II pada awal abad ke-7, hingga tersisa sebagai
reruntuhan.
Konstruksi
Umayyah
Masjid Al-Aqsa di sepanjang dinding selatan Bukit Bait Suci.
Tidak diketahui secara tepat kapan
Masjid Al-Aqsa pertama kali dibangun dan siapa yang memerintahkan
pembangunannya, namun dapat dipastikan bahwa pembangunannya dilakukan pada masa
awal pemerintahan Umayyah di Palestina. Berdasarkan kesaksian Arculf,
seorang biarawan Galia
yang berziarah ke Palestina pada 679-82, sejarawan arsitektur Sir Archibal Creswell berpendapat bahwa Umar bin Khattab mungkin adalah orang yang pertama
kali mendirikan bangunan persegi empat primitif berkapasitas 3.000 jamaah di
suatu tempat di Al-Haram Asy-Syarif (Bukit Bait Suci). Bagaimanapun
juga, Arculf mengunjungi Palestina pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dengan demikian,
adalah mungkin bahwa Muawiyah lah yang memerintahkan pembangunan dan bukan
Umar. Pendapat terakhir ini didukung oleh tulisan dari ulama Yerusalem awal
Al-Mutahhar bin Tahir Al-Maqdisi. Analisis atas panel dan balok kayu yang
diambil dari bangunan ini selama renovasi pada tahun 1930-an menunjukkan bahwa
kayu-kayu tersebut adalah cedar Libanon dan cypress. Penanggalan
radiokarbon menunjukkan berbagai macam usia, beberapa bahkan setua abad ke-9
SM, yang menunjukkan bahwa beberapa dari kayu tersebut sebelumnya telah
digunakan pada bangunan-bangunan yang lebih tua.
Menurut beberapa ulama Islam, antara
lain Mujiruddin Al-Ulaimi, Jalaluddin As-Suyuthi, dan Syamsuddin Al-Maqdisi, masjid ini dibangun
kembali dan diperluas oleh Khalifah
Abdul Malik bin Marwan pada 690 bersama
dengan Kubah Batu. Guy le Strange mengklaim bahwa Abdul
Malik menggunakan bahan-bahan dari Gereja Bunda Kita yang hancur untuk
membangun masjid dan menunjukkan bukti bahwa kemungkinan substruktur di sudut
tenggara masjid adalah sisa-sisa gereja tersebut. Dalam merencanakan proyek
megahnya di Bukit Bait Suci, yang pada akhirnya akan mengubah keseluruhan
kompleks itu menjadi Al-Haram Asy-Syarif ("tanah suci yang
mulia"), Abdul Malik ingin mengubah bangunan primitif sebagaimana
digambarkan oleh Arculf menjadi struktur yang lebih terlindung yang melingkupi kiblat,
suatu faktor penting dalam skema lengkap rancangannya. Namun demikian, seluruh Al-Haram
Asy-Syarif itu dimaksudkan untuk melambangkan masjid. Seberapa banyak
perubahan yang ia lakukan pada aspek bangunan sebelumnya tidak diketahui,
tetapi panjang bangunan baru ditunjukkan dengan adanya bekas jembatan yang
mengarah ke istana Umayyah, yang terletak di sebelah selatan dari bagian barat
kompleks. Jembatan kemungkinan dahulunya membentang dari jalan di luar tembok
selatan Al-Haram Asy-Syarif, sebagai akses langsung menuju masjid.
Adanya akses langsung dari istana ke masjid adalah sebuah ciri khas yang
terkenal pada masa Umayyah, sebagaimana terdapat pada situs-situs awal lainnya.
Abdul Malik menggeser poros tengah masjid sekitar 40 meter ke arah barat,
sesuai dengan rencana lengkapnya atas Al-Haram Asy-Syarif. Poros
bangunan sebelumnya yang berbentuk sebuah ceruk, saat ini masih dikenal dengan
sebutan "Mihrab Umar". Karena memperhatikan benar posisi Kubah Batu, Abdul Malik meminta arsiteknya
menyejajarkan Masjid Al-Aqsa yang baru dengan posisi batu Ash-Shakhrah, sehingga sumbu utama utara-selatan Bukit
Bait Suci yang sebelumnya, yaitu garis yang melalui Kubah Silsilah dan Mihrab Umar, menjadi bergeser.
Creswell, yang merujuk pada Papyri
Aphrodito, sebaliknya mengklaim bahwa Al-Walid bin Abdul Malik adalah yang
membangun kembali Masjid Al-Aqsa selama periode enam bulan sampai satu tahun,
dengan para pekerja dari Damaskus.
Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa rekonstruksi masjid dimulai oleh Abdul
Malik, namun Al-Walid lah yang mengawasinya hingga selesai. Dalam tahun
713-714, serangkaian gempa bumi telah merusak Yerusalem dan menghancurkan
bagian timur masjid, yang akhirnya dibangun kembali pada masa pemerintahan
Al-Walid tersebut. Untuk membiayai rekonstruksi ini, Al-Walid memerintahkan
emas dari Kubah Ash-Shakhrah dicetak sebagai sebagai uang logam untuk membeli
bahan-bahan bangunan. Masjid Al-Aqsa yang dibangun Umayyah kemungkinan besar
berukuran 112 x 39 meter.
Gempa
bumi dan pembangunan kembali
Fasad dan serambi masjid ini dibangun dan diperluas oleh
para penguasa Fatimiyah, Tentara Salib, Mamluk
dan Ayyubiyah.
Pada tahun 746, Masjid Al-Aqsa rusak
akibat gempa bumi, yaitu empat tahun sebelum Abul Abbas As-Saffah menggulingkan Ummayah dan mendirikan kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah
yang kedua Abu Jafar Al-Mansur pada tahun 753 menyatakan niatnya untuk
memperbaiki masjid itu. Ia memerintahkan agar lempengan emas dan perak yang
menutupi gerbang masjid dilepaskan dan dicetak menjadi uang dinar
dan dirham untuk membiayai kegiatan rekonstruksi, yang
diselesaikan pada tahun 771. Gempa kedua yang terjadi pada tahun 774 kemudian
merusak sebagian besar perbaikan Al-Mansur itu, kecuali perbaikan pada bagian
selatan masjid. Pada tahun 780, khalifah selanjutnya Muhammad
Al-Mahdi membangunnya kembali, tapi ia mengurangi panjangnya serta
memperbesar lebarnya. Renovasi Al-Mahdi adalah renovasi pertama yang diketahui
memiliki catatan tertulis yang menjelaskan hal itu. Pada tahun 985, seorang
ahli geografi Arab kelahiran Yerusalem bernama Al-Maqdisi mencatat bahwa masjid hasil
renovasi memiliki "lima belas lengkungan dan lima belas gerbang".
Pada tahun 1033 terjadi lagi sebuah
gempa bumi, yang sangat merusak masjid. Antara tahun 1034 dan 1036, khalifah Fatimiyah Ali Azh-Zhahir membangun kembali dan merenovasi
masjid secara menyeluruh. Jumlah lengkungan secara drastis dikurangi dari lima
belas menjadi tujuh. Azh-Zhahir membangun empat buah arkade untuk aula tengah
dan lorong, yang saat ini berfungsi sebagai fondasi masjid. Aula tengah
diperbesar dua kali lipat dari lebar lorong lainnya, dan memiliki ujung atap
besar yang di atasnya dibangun sebuah kubah dari kayu.
|
Daerah Al-Haram (daerah yang suci) terdapat di
sebelah timur dari kota ini; dan melalui bazar
di (bagian kota) ini anda akan memasukkan Daerah tersebut melalui pintu
gerbang (Dargah) yang besar dan indah... Setelah melewati gerbang ini,
di sebelah kanan anda terdapat dua baris tiang-tiang besar (Riwaq),
masing-masing memiliki sembilan dan dua puluh pilar-pilar marmer, yang bagian
puncak dan dasarnya berupa pualam berwarna, dan persambungannya terbuat dari
timah. Di atas pilar-pilar terdapat lengkungan-lengkungan, yang terbuat dari
batu bata, tanpa pelapis plester atau semen, dan setiap lengkungan dibangun
dengan tidak lebih dari lima atau enam blok batu. Pilar-pilar ini mengarah
sampai ke dekat Maqsurah.
|
|
Nasir Khusraw',
deskripsi masjid pada tahun 1047 Masehi (Safarnama, terjemahan Guy Le Strange)
|
Yerusalem direbut oleh Tentara Salib pada tahun 1099, selama Perang Salib Pertama. Alih-alih menghancurkan
masjid, yang mereka sebut "Bait Salomo", Tentara Salib menggunakannya sebagai
istana kerajaan dan kandang kuda. Pada tahun 1119, tempat ini berubah menjadi
markas para Ksatria Templar. Selama periode ini, mesjid
mengalami beberapa perubahan struktural, termasuk perluasan serambi utara, penambahan
apse,
dan sebuah dinding pembatas. Sebuah kloster baru dan sebuah gereja juga
dibangun di situs tersebut, bersama dengan beberapa struktur bangunan lainnya.
Para Ksatria Templar membangun pavilyun berkubah di sisi barat dan timur
bangunan. Pavilyun barat saat ini berfungsi sebagai masjid untuk kaum wanita
dan pavilyun timur berfungsi sebagai Museum Islam.
Setelah Shalahuddin Al-Ayyubi
berhasil memimpin Ayyubiyah merebut kembali Yerusalem melalui pengepungan pada
tahun 1187, beberapa perbaikan dilakukan atas Masjid Al-Aqsa.Nuruddin Zengi yang menjadi sultan sebelum
Shalahuddin, sebelumnya telah menugaskan pembangunan mimbar baru yang terbuat dari gading
dan kayu pada tahun 1168-1169, namun mimbar itu baru selesai setelah ia wafat.
Mimbar Nuruddin telah ditambahkan oleh Shalahuddin ke masjid pada bulan
November 1187. Penguasa Ayyubiyah di Damaskus, Sultan Al-Muazzam, pada tahun
1218 membangun serambi utara masjid dengan tiga buah gerbang. Pada tahun 1345,
penguasa Mamluk di bawah pemerintahan Al-Kamil Shaban menambahkan dua
lengkungan dan dua gerbang pada bagian timur masjid.
Setelah Utsmaniyah merebut kekuasaan pada 1517, mereka tidak
melakukan renovasi atau perbaikan besar atas masjid itu, namun mereka melakukan
perbaikan pada Al-Haram Asy-Syarif (Bukit Bait Suci) secara keseluruhan.
Hal ini termasuk antara lain pembangunan Air Mancur Qasim Pasha (1527), perbaikan
kembali Kolam Raranj, serta pembangunan tiga kubah yang
berdiri bebas. Kubah yang paling terkenal ialah Kubah Nabi, dibangun pada tahun 1538. Semua pembangunan
adalah atas perintah para gubernur Utsmaniyah di Yerusalem dan bukan atas
perintah para sultan. Walaupun demikian, para sultan melakukan penambahan pada
menara-menara yang telah ada.
Masa
modern
Kubah masjid pada tahun 2013, terbuat dari aluminium (dan
tampak seperti perak). Kubah telah diganti lapisan timah sebagaimana aslinya
pada tahun 1983.
Renovasi pertama pada abad ke-20
dilakukan pada tahun 1922, yaitu setelah Majelis Tinggi Islam Yerusalem di bawah
pimpinan Amin Al-Husseini mempekerjakan Ahmet Kemalettin
Bey, seorang arsitek berkebangsaan Turki, untuk merestorasi Masjid al-Aqsa dan
monumen-monumen di sekitarnya. Dewan tersebut juga menugaskan arsitek-arsitek Inggris,
ahli-ahli Mesir, dan para pejabat lokal untuk ikut berpartisipasi dan
mengawasi perbaikan yang dilakukan pada tahun 1924–25 di bawah pengawasan
Kemalettin. Renovasi meliputi penguatan fondasi kuno masjid Umayyah, perbaikan
tiang-tiang kolom interior, penggantian balok-balok, pendirian perancah, perawatan lengkungan
dan bagian dalam kubah, pendirian kembali dinding selatan, serta penggantian
tiang kayu di ruangan tengah dengan tiang beton. Renovasi tersebut juga
menampilkan kembali mosaik era Fatimiyah dan kaligrafi di lengkungan-lengkungan
interior yang sebelumnya tertutupi oleh lapisan pelapis. Lengkungan-lengkungan
dihiasi dengan gipsum berwarna hijau dan emas dan balok kayu landasannya
digantikan dengan tembaga.
Seperempat dari jendela kaca patri juga diperbaharui dengan hati-hati agar
dapat melestarikan desain asli Abbasiyah dan Fatimiyahnya. Kerusakan hebat
telah terjadi karena gempa bumi tahun 1927 dan 1937, namun masjid itu
diperbaiki kembali pada tahun 1938 dan 1942.Pada tanggal 21 Agustus 1969,
terjadi kebakaran di dalam Masjid Al-Aqsa, yang memusnahkan bangunan bagian
tenggara masjid. Mimbar Salahuddin adalah termasuk di antara barang-barang yang
rusak terbakar. Orang-orang Palestina awalnya menyalahkan otoritas Israel atas
kebakaran tersebut, dan beberapa orang Israel menyalahkan Fatah
dan menganggap bahwa mereka yang menyulut sendiri apinya, agar dapat
menyalahkan Israel dan memancing permusuhan. Namun kemudian terbukti bahwa
kebakaran itu bukan disebabkan oleh Fatah maupun Israel, melainkan oleh seorang
turis Australia bernama Denis Michael Rohan. Rohan adalah anggota dari sekte evangelis Kristen Worldwide Church of God. Ia berharap bahwa
dengan membakar Masjid Al-Aqsa, ia dapat mempercepat Kedatangan Kedua Yesus,
dengan cara mempermudah dibangunnya kembali Bait Suci Yahudi di Bukit Bait
Suci. Rohan dirawat di lembaga perawatan mental, didiagnosa mengalami gangguan
kejiwaan, dan akhirnya dideportasi. Serangan terhadap Al-Aqsa disebut-sebut
sebagai salah satu penyebab dibentuknya Organisasi Konferensi Islam pada tahun
1971, yang merupakan organisasi dari 57 negara yang banyak berpenduduk Islam.
Pada tahun 1980-an, Ben Shoshan dan
Yehuda Etzion, keduanya anggota kelompok bawah tanah Gush Emunim, merencanakan untuk meledakkan
Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu. Etzion berpendapat bahwa meledakkan dua
bangunan tersebut akan menyebabkan kebangkitan spiritual Israel, dan
menyelesaikan semua permasalahan orang Yahudi. Mereka juga berharap bahwa Bait Suci Ketiga di Yerusalem dapat didirikan di
atas lokasi tersebut. Rencana mereka mengalami kegagalan karena lebih dahulu
diketahui pihak kepolisian. Pada tanggal 15 Januari 1988, yaitu saat berlangsungnya
Intifadah Pertama, pasukan Israel menembakkan peluru karet dan gas air mata kepada para demonstran di luar masjid,
mengakibatkan 40 orang jemaah luka-luka. Pada tanggal 8 Oktober 1990, dalam
suatu kerusuhan 22 orang warga Palestina terbunuh dan lebih dari 100 lainnya
luka-luka karena tindakan keras Polisi Perbatasan Israel. Kerusuhan dipicu
oleh pengumuman dari Gerakan Setia Bait Suci,
suatu kelompok Yahudi Ortodoks, yang menyatakan bahwa mereka akan meletakkan
batu pertama untuk pembangunan Bait Suci Ketiga.
Arsitektur
Bangunan Masjid Al-Aqsa berbentuk persegi,
dan luasnya beserta area di sekitarnya adalah 144.000 m, sehingga dapat
menampung sampai dengan 400.000 jamaah. Panjang bangunan masjid adalah 272 kaki (83 m),
dan lebarnya 184 kaki (56 m), dan dapat menampung sampai 5.000 jamaah.
Berbeda dengan Kubah Batu yang mencerminkan arsitektur Byzantium klasik,
kubah Masjid Al-Aqsa menunjukkan ciri arsitektur Islam awal. Kubah yang asli dibangun
oleh Abdul Malik bin Marwan, namun sekarang sudah
tidak ada lagi sisanya. Bentuk kubah seperti yang ada saat ini awalnya dibangun
oleh Ali Azh-Zhahir dan terbuat dari kayu yang disepuh
dengan lapisan enamel timah. Pada tahun 1969, kubah dibangun kembali dengan
menggunakan beton dan dilapisi dengan aluminium yang dianodisasi sebagai ganti
dari bentuk aslinya yaitu lapisan enamel timah yang berusuk. Pada tahun 1983,
aluminium yang menutupi bagian luar diganti lagi dengan timah untuk
menyesuaikan dengan desain asli Azh-Zhahir.
Kubah Al-Aqsa adalah salah satu dari
sedikit masjid dengan kubah yang dibangun di depan mihrab
selama periode Umayyah dan Abbasiyah, contoh lainnya adalah Masjid Umayyah di Damaskus
(715) dan Masjid Besar Sousse
(850). Interior kubah dicat menurut dekorasi era abad ke-14. Pada kabakaran
tahun 1969, cat dekoratif itu rusak dan sempat dianggap sudah tidak dapat
diperbaiki lagi. Namun dengan menggunakan teknik trateggio, yaitu sebuah
metode yang menggunakan garis-garis vertikal halus untuk membedakan daerah yang
direkonstruksi dengan daerah yang asli, akhirnya dapat diperbaiki kembali
dengan sempurna.
Menara
masjid
Masjid ini memiliki empat menara di
sisi selatan, utara, dan barat. Menara pertama, dikenal sebagai Al-Fakhariyyah,
dibangun pada tahun 1278 di bagian barat daya masjid atas perintah sultan Mamluk,
Lajin.
Menara ini dibangun dalam gaya tradisional Suriah,
dengan landasan dan poros bangunan berbentuk persegi, serta dibagi menjadi tiga
lantai dengan cetakan hias. Pada bagian atasnya terdapat dua deret muqarnas
(ceruk hias) sebagai dekorasi untuk balkon muazzin.
Ceruk hias ini dilingkupi oleh suatu bilik persegi, yang pada bagian atasnya
terdapat kubah batu berlapis timah.
Menara kedua, yang dikenal dengan
nama Al-Ghawanimah, dibangun di sisi barat laut Al-Haram Asy-Syarif
(Bukit Bait Suci) pada tahun 1297–98 oleh arsitek Qadi Sharafuddin Al-Khalili,
atas perintah Sultan Lajin. Menara ini memiliki tinggi 37 meter. dan hampir
seluruhnya terbuat dari batu, selain dari kanopi kayu yang terletak di atas
balkon muazzin. Karena struktur bangunannya yang kokoh, menara
Al-Ghawanimah hampir tidak terpengaruh oleh berbagai gempa bumi yang terjadi.
Menara ini dibagi menjadi beberapa tingkat oleh cetakan batu dan galeri-galeri
dengan bentuk hiasan menyerupai stalaktit. Dua tingkat pertama berukuran lebih luas dan
menjadi landasan menara. Keempat tingkat selanjutnya dilingkupi oleh ruangan
berbentuk silinder dan sebuah kubah bulat. Tangga untuk dua lantai pertama
terletak di luar bangunan, tetapi kemundian menjadi tangga dalam berbentuk
spiral sejak dari lantai tiga sampai mencapai balkon muazzin.
Tankiz, gubernur Mamluk di Suriah,
pada tahun 1329 memerintahkan pembangunan menara ketiga yang dikenal sebagai
Bab Al-Silsilah. Menara ini terletak di sisi barat Masjid Al-Aqsa. Menara ini,
yang mungkin dibangun untuk menggantikan menara Umayyah sebelumnya, dibangun
berbentuk persegi menurut gaya tradisional Suriah dan seluruhnya terbuat dari
batu. Berdasarkan tradisi lama Muslim setempat muazzin terbaik melakukan
azan dari menara ini, karena seruan azan pertama untuk setiap
awal salat lima waktu selalu dikumandangkan dari sini.
Menara terakhir dan yang paling
terkenal adalah Bab Al-Asbat. Menara ini dibangun pada tahun 1367. Menara ini
berupa poros batu silinder (dibangun kemudian pada masa Utsmaniyah), yang berdiri di atas landasan berbentuk
persegi panjang dari masa Mamluk, dan di terdapat formasi transisi yang
berbentuk segitiga. Poros bangunan menyempit pada bagian balkon muazzin,
dilengkapi beberapa jendela melingkar, serta pada bagian atasnya terdapat kubah
berbentuk bulat. Kubah ini dibangun kembali setelah terjadinya gempa bumi Lembah Yordan 1927.
Di bagian timur masjid tidak
terdapat menara karena dalam sejarah dahulu sangat sedikit penduduk di sisi
tersebut, sehingga tidak diperlukan menara tambahan untuk menyerukan azan.
Namun, Raja Abdullah II dari Yordania pada tahun
2006 mengumumkan keinginannya untuk membangun menara kelima yang menghadap ke
Bukit Zaitun. Menara Raja Hussein ini nantinya direncanakan menjadi struktur
bangunan tertinggi di Kota Tua Yerusalem.
Fasad
dan serambi
Bagian depan (fasad)
masjid ini dibangun pada 1065 Masehi atas perintah khalifah Fatimiyah Al-Mustanshir. Di bagian muka terdapat bangunan pagar
langkan (balustrade) berupa lorong-lorong beratap (arkade) dengan tiang-tiang
kolom kecil. Tentara Salib merusak fasad ini ketika mereka
memerintah Palestina, namun Ayyubiyah memperbaiki dan membangunnya kembali.
Fasad juga mengalami penambahan berupa penempelan ubin pada dindingnya. Bahan
bekas pakai yang digunakan untuk membangun lengkungan fasad antara lain
termasuk bahan hias pahatan yang diambil dari bangunan-bangunan Tentara Salib
di Yerusalem. Terdapat empat belas lengkungan
batu di sepanjang fasad, sebagian besar bergaya Romantik. Mamluk menambahkan
lengkungan-lengkungan terluar, yang dibangun dengan mengikuti desain yang sama.
Pintu masuk ke masjid adalah dengan melalui lengkungan tengah pada fasad
tersebut.
Sebuah bangunan serambi (bilik)
terletak di bagian atas fasad ini. Bagian tengah serambi dibangun oleh Ksatria Templar pada masa Perang Salib Pertama, namun Al-Muazzam kemenakan Shalahuddin adalah yang memerintahkan
dibangunnya bangunan serambi itu sendiri pada tahun 1217.
Interior
Interior masjid yang menunjukkan lorong utama dengan
tiang-tiang melengkung.
Masjid Al-Aqsa memiliki tujuh buah
lorong dengan ruang yang ditunjang oleh tiang-tiang melengkung (hypostyle
nave), serta beberapa ruang kecil tambahan di sisi sebelah barat dan timur
pada bangunan masjid bagian selatan. Terdapat pula 121 jendela kaca patri dari
era Abbasiyah dan Fatimiyah, dimana seperempatnya telah selesai direstorasi
pada tahun 1924.
Pintu-pintu pada mimbar Shalahuddin, awal tahun 1900-an.
Ruangan dalam masjid memiliki 45
tiang kolom, 33 diantaranya terbuat dari marmer
putih dan 12 lainnya dari batu. Barisan tiang kolom pada lorong-lorong
tengah berbentuk kokoh dan kerdil, dengan ukuran lingkar 30,6 cm dan
tinggi 54 cm, akan tetapi empat barisan tiang kolom lainnya memiliki
ukuran yang lebih lebih proporsional. Terdapat empat jenis desain yang berbeda
untuk bagian kepala tiang kolom. Kepala tiang di lorong tengah berbentuk kokoh
dan berdesain primitif, sedangkan kepala tiang yang di bawah kubah berdesain
gaya Korintus dan terbuat dari marmer putih Italia.
Kepala tiang di lorong timur memiliki desain berbentuk keranjang yang besar,
sementara kepala tiang di sebelah timur dan barat kubah juga berbentuk
keranjang tetapi berukuran lebih kecil dan lebih proporsional. Terdapat palang
penghubung antara tiang kolom dan tembok penyangga yang satu dengan yang
lainnya, yang terbuat dari balok kayu yang dipotong sederhana dan berlapis
selubung kayu dengan ukiran seadanya.
Banyak bagian masjid yang hanya
dilabur kapur putih, tetapi bagian dalam kubah dan dinding-dinding yang tepat
di bawahnya penuh dengan dekorasi mozaik dan marmer.
Beberapa karya lukisan yang tidak begitu baik dari seorang seniman Italia
pernah diletakkan di sana ketika perbaikan sedang dilakukan pada masjid,
setelah gempa bumi tahun 1927. Bagian langit-langit masjid juga dicat dengan
pendanaan dari Raja Farouk dari Mesir.
Mimbar masjid dibuat oleh seorang pengrajin
bernama Akhtarini yang berasal dari Aleppo
atas perintah Sultan Nuruddin Zengi. Mimbar tersebut dimaksudkan sebagai
hadiah untuk masjid ketika Nuruddin membebaskan Yerusalem, dan pengerjaannya
memakan waktu selama enam tahun (1168-1174). Ternyata Nuruddin meninggal ketika
Tentara Salib masih memegang kendali atas Yerusalem,
namun ketika Shalahuddin berhasil merebut kota itu pada tahun 1187, mimbar
tersebut lalu dipasang. Struktur mimbar terbuat dari gading
dan kayu yang dipahat secara hati-hati. Kaligrafi Arab dan desain-desain berbentuk geometris
dan bunga terukir pada bagian-bagian kayu mimbar tersebut. Setelah hancur
karena perbuatan Rohan pada tahun 1969, mimbar itu digantikan oleh mimbar lain
yang dekorasinya jauh lebih sederhana. Adnan Al-Hussaini, kepala lembaga wakaf
Islam yang bertanggung jawab atas Al-Aqsa, pada bulan Januari 2007 menyatakan
bahwa akan dibuat sebuah mimbar baru, dan pada bulan Februari 2007 mimbar baru
tersebut telah selesai dipasang. Desain mimbar baru ini dibuat oleh Jamil
Badran berdasarkan replika yang seksama dari mimbar Shalahuddin, dan
pengerjaannya diselesaikan oleh Badran dalam waktu lima tahun. Mimbar itu
dikerjakan di Yordania selama empat tahun, dan para pengrajin menggunakan
"metode kuno dalam pengukiran kayu, menggabungkan potongan-potongan dengan
pasak dan bukan paku, namun menggunakan pencitraan komputer untuk desain
mimbarnya."
Air
mancur tempat wudhu
Air mancur tempat wudhu
utama, yang bernama al-Kas ("mangkuk"), terletak di bagian
utara yaitu antara masjid dan Kubah Batu. Para jamaah menggunakannya untuk
wudhu, yaitu ritual pencucian wajah, lengan, rambut, telinga, dan kaki yang
dilakukan umat Islam sebelum beribadah, termasuk di masjid. Bangunan ini pertama
kali dibangun pada tahun 709 pada masa pemerintahan Umayyah, tetapi antara
tahun 1327-1328 Gubernur Tankiz memperbesarnya untuk dapat melayani lebih
banyak jamaah. Meskipun pada awalnya air berasal dari Kolam Salomo yang ada di dekat Betlehem,
saat ini air berasal dari pipa yang terhubung ke sumber air kota Yerusalem. Renovasi al-Kas pada abad ke-20 telah
menambahkannya dengan keran air dan tempat duduk batu.
Air Mancur Qasim Pasha dibangun pada masa
pemerintahan Utsmaniyah tahun 1526 dan terletak di sebelah utara
masjid, yaitu pada serambi Kubah Batu. Air mancur ini sebelumnya juga pernah
digunakan oleh para jamaah untuk wudhu dan minum sampai dengan tahun 1940-an,
namun saat ini hanya berfungsi sebagai monumen saja.
Arti
penting dalam agama Islam
Istilah "Masjid al-Aqsa"
dalam Islam tidaklah terbatas pada masjid saja, melainkan meliputi
seluruh Al-Haram Asy-Syarif (Bukit Bait Suci). Masjid ini dikenal
sebagai rumah ibadah kedua yang dibangun setelah Masjid Al-Haram di Mekkah.
Imam Muslim menyampaikan hadits
yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari:
Saya
bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai masjid yang mula-mula dibangun di atas
bumi ini.
Rasulullah
saw. menjawab: "Masjid Al-Haram".
Saya
bertanya: "Kemudian masjid mana?"
Rasulullah
saw. menjawab: "Masjid Al-Aqsa".
Saya
bertanya: "Berapa jarak waktu antara keduanya?"
Rasulullah saw. menjawab:
"Empat puluh tahun. Kemudian seluruh bumi Allah adalah tempat sujud
bagimu. Maka di manapun kamu mendapati waktu salat, maka salatlah".
Selama perjalanan malamnya menuju Baitul Maqdis (Yerusalem), Muhammad mengendarai Al-Buraq
dan setibanya di sana ia salat dua rakaat
di Bukit Bait Suci. Setelah selesai salat, malaikat Jibril
membawanya naik ke surga,
di mana ia bertemu dengan beberapa nabi lainnya, dan kemudian menerima perintah
dari Allah yang menetapkan kewajiban bagi umat Islam agar menjalankan salat
lima waktu setiap harinya. Ia kemudian kembali ke Mekkah.
Masjid Al-Aqsa dikenal sebagai
"masjid terjauh" dalam Surah
Al-Isra pada Al-Qur'an.
Lokasinya menurut tradisi umat Islam ditafsirkan sebagai situs Al-Haram
Asy-Syarif di Yerusalem, di mana masjid dengan nama ini sekarang telah
berdiri. Berdasarkan tradisi ini, istilah masjid yang dalam bahasa Arab secara
harfiah berarti "tempat sujud", juga dapat merujuk kepada
tempat-tempat ibadah monoteistik lainnya seperti Haikal Sulaiman, yang dalam Al-Qur'an juga disebut
dengan istilah "masjid". Para sejarawan Barat Heribert Busse dan Neal
Robinson berpendapat bahwa itulah penafsiran yang diinginkan.
Maimunah binti Sa’ad dalam hadits
tentang berziarah ke Masjid Al-Aqsa menyebutkan: "Ya Nabi Allah, berikan
fatwa kepadaku tentang Baitul Maqdis". Nabi berkata, "Tempat
dikumpulkannya dan disebarkannya (manusia). Maka datangilah ia dan salat
di dalamnya. Karena salat di dalamnya seperti salat 1.000 rakaat di
selainnya". Maimunah berkata lagi: "Bagaimana jika aku tidak
bisa". "Maka berikanlah minyak untuk penerangannya. Barang siapa yang
memberikannya maka seolah ia telah mendatanginya."
Kiblat
pertama
Sejarah penting Masjid Al-Aqsa dalam
Islam juga mendapatkan penekanan lebih lanjut, karena umat Islam ketika salat
pernah berkiblat ke arah Al-Aqsa selama empat belas atau tujuh belas
bulan setelah peristiwa hijrah
mereka ke Madinah tahun 624. Menurut Allamah Thabathaba'i, Allah menyiapkan
umat Islam untuk perpindahan kiblat tersebut, pertama-tama dengan mengungkapkan
kisah tentang Ibrahim dan anaknya Ismail, doa-doa mereka untuk Ka'bah dan Mekkah, upaya mereka
membangun Baitullah (Ka'bah), serta perintah membersihkannya untuk digunakan
sebagai tempat beribadah kepada Allah. Kemudian diturunkanlah ayat-ayat
Al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk menghadap ke arah Masjid Al-Haram dalam salat mereka.
Perubahan arah kiblat adalah alasan
mengapa Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin, tidak salat menghadap
batu Ash-Shakhrah di Bukit Bait Suci ataupun membangun bangunan
di sekitarnya; meskipun ketika Umar tiba di sana pada tahun 638, ia mengenali
batu tersebut yang diyakini sebagai tempat Muhammad memulai perjalanannya naik
ke surga. Hal ini karena berdasarkan yurisprudensi
Islam, setelah arah kiblat berpindah, maka Kab'ah di Mekkah telah menjadi
lebih penting daripada tempat batu Ash-Shakhrah di Bukit Bait Suci tersebut.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang
umum dikenal dalam tradisi Islam, Umar memasuki Yerusalem setelah penaklukannya
pada tahun 638. Ia diceritakan bercakap-cakap dengan Ka'ab Al-Ahbar, seorang Yahudi
yang telah masuk Islam dan ikut datang bersamanya dari Madinah,
mengenai tempat terbaik untuk membangun sebuah masjid. Al-Ahbar menyarankan
agar masjid dibangun di belakang batu Ash-Shakhrah "... maka seluruh
Al-Quds (berada) di depan Anda". Umar menjawab, "Ka'ab, Anda sudah
meniru ajaran Yahudi". Namun demikian, segera setelah percakapan ini Umar
dengan jubahnya mulai membersihkan tempat yang telah dipenuhi dengan sampah dan
puing-puing tersebut. Demikian pula kaum Muslim pengikutnya turut serta
membersihkan tempat itu. Umar kemudian mendirikan salat di tempat yang
diyakini sebagai tempat salat Muhammad pada saat Isra Mi'raj, dan
Umar di tempat itu membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dari Surah
Sad. Oleh karenanya, berdasarkan riwayat tersebut maka
Umar dianggap telah menyucikan kembali situs tersebut sebagai masjid.
Mengingat kesucian Bukit Bait Suci,
sebagai tempat yang dipercayai pernah digunakan untuk berdoa oleh Ibrahim, Daud,
dan Sulaiman, maka Umar mendirikan sebuah rumah ibadah kecil di
sudut sebelah selatan area tersebut. Ia secara berhati-hati menghindarkan agar
batu Ash-Shakhrah tidak terletak di antara masjid itu dan Ka'bah,
sehingga umat Islam hanya akan menghadap ke arah Mekkah saja ketika mereka salat.
Status
religius
Yerusalem oleh banyak kalangan umat
Islam dianggap sebagai tempat yang suci, sesuai penafsiran mereka atas ayat-ayat
suci Al-Qur'an dan berbagai hadist. Abdallah El-Khatib berpendapat bahwa
kira-kira terdapat tujuh puluh tempat di dalam Al-Qur'an di mana Yerusalem
disebutkan secara tersirat. Yerusalem juga sering disebut-sebut di dalam
kitab-kitab hadist. Beberapa akademisi berpendapat bahwa status kesucian
Yerusalem mungkin dipengaruhi oleh meningkatnya penyebarnya sejenis genre
sastra tertentu, yaitu Al-Fadhail (sejarah kota-kota); sehingga kaum
Muslim yang terinspirasi, khususnya selama periode Umayyah, mengangkat status
kesucian kota itu melebihi statusnya menurut kitab suci. Akademisi-akademisi
lainnya mempertanyakan keberadaan motif-motif politik Dinasti Umayyah, sehingga
Yerusalem kemudian dianggap suci bagi umat Islam.
Naskah-naskah abad pertengahan,
sebagaimana pula tulisan-tulisan politis era moderen ini, cenderung menempatkan
Masjid Al-Aqsa sebagai tempat suci ketiga bagi umat Islam. Sebagai contoh,
kitab Sahih Bukhari mengutip Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan:
"Janganlah perjalanan itu memberatkan (kamu) kecuali ke tiga masjid yaitu Masjid Al-Haram, Masjid Rasulullah SAW, dan Masjid Al-Aqsa".
Selain itu, Organisasi Konferensi Islam (yang
alasan pendiriannya adalah "untuk membebaskan Al-Aqsa dari pendudukan
Zionis [Israel]") menyebut Masjid Al-Aqsa dalam sebuah resolusi yang
mengutuk tindakan-tindakan Israel pada kota itu, sebagai tempat tersuci ketiga
bagi umat Islam.
Situasi
saat ini
Administrasi
Kementerian Wakaf Yordania
memegang kontrol atas Masjid Al-Aqsa hingga Perang Enam Hari tahun 1967. Setelah memenangkan
perang, Israel menyerahkan kekuasaan masjid dan Bukit Bait Suci kepada lembaga wakaf
Islam yang independen dari pemerintahan Israel. Namun, Angkatan Pertahanan Israel diperbolehkan
berpatroli dan melakukan pencarian di wilayah masjid. Setelah pembakaran tahun
1969, lembaga wakaf tersebut mempekerjakan arsitek, teknisi, dan pengrajin
dalam sebuah komite untuk melakukan perawatan. Untuk mengimbangi berbagai
kebijakan Israel dan semakin meningkatnya kehadiran pasukan keamanan Israel di
sekitar lokasi ini sejak Intifadah Al-Aqsa, Gerakan Islam bekerjasama dengan lembaga
wakaf telah berusaha untuk meningkatkan kendali Muslim di dalam lingkungan Al-Haram
Asy-Syarif. Beberapa kegiatannya termasuk memperbarui dan merenovasi
kembali bangunan-bangunan yang terbengkalai.
Saat ini, imam
utama dan pengurus Masjid Al-Aqsa adalah Muhammad Ahmad Hussein. Ia diangkat menjadi
Mufti Besar Yerusalem pada tahun 2006 oleh Presiden Palestina Mahmud Abbas. Imam-imam lainnya termasuk Syekh Yusuf
Abu Sneina, Mufti Palestina sebelumnya Syekh Ikrimah Sa'id Sabri, serta mantan
Imam Al-Aqsa Syekh Muhammad Abu Shusha yang sekarang tinggal di Amman,
Yordania.
Kepemilikan Masjid Al-Aqsa merupakan
salah satu isu dalam konflik Israel-Palestina. Israel mengklaim
kekekuasaan atas masjid tersebut dan juga seluruh Bukit Bait Suci, tetapi Palestina memegang perwalian secara tak resmi melalui
lembaga wakaf. Selama negosiasi di Pertemuan Camp David 2000, Palestina
meminta kepemilikan penuh masjid ini serta situs-situs suci Islam lainnya yang
berada di Yerusalem Timur.
Akses
Papan keterangan dalam bahasa Ibrani dan Inggris di luar Bait Suci menampilkan larangan menurut Taurat
untuk memasuki area ini.
Sementara semua warganegara Israel
yang muslim diperbolehkan untuk masuk dan beribadah di Masjid Al-Aqsa, Israel
pada waktu-waktu tertentu menetapkan pembatasan ketat akses masuk ke masjid
untuk orang Yahudi, muslim
Palestina yang tinggal di Tepi Barat atau Jalur Gaza, atau pembatasan berdasarkan usia untuk warga
Palestina dan warganegara Israel keturunan Arab, seperti memberi izin masuk hanya
untuk pria yang telah menikah dan setidaknya berusia 40 atau 50 tahun. Wanita
Arab kadang-kadang juga dibatasi sehubungan dengan status perkawinan dan usia
mereka. Alasan Israel untuk pembatasan tersebut adalah bahwa pria Palestina
yang berusia tua dan telah menikah cenderung "tidak menyebabkan
masalah", yaitu bahwa secara keamanan mereka lebih tidak beresiko.
Banyak rabbi,
termasuk para ketua rabbi Israel sejak tahun 1967, telah memutuskan bahwa orang
Yahudi tidak boleh berjalan di Bukit Bait Suci karena terdapat kemungkinan
mereka menginjak Kodesh Hakodashim, yaitu lokasi yang dianggap tersuci
oleh orang Yahudi. Pembatasan dari pemerintah Israel hanya melarang
dilakukannya doa Yahudi di Bukit Bait Suci, tetapi tetap mengizinkan orang
Yahudi maupun non-Muslim lainnya untuk berkunjung pada berjam-jam tertentu
selama hari-hari tertentu dalam seminggu. Beberapa rabbi dan para pemimpin Zionis
telah mengajukan tuntutan agar orang-orang Yahudi diperbolehkan untuk berdoa di
tempat itu pada hari-hari raya Yahudi. Meskipun Mahkamah Agung Israel telah mendukung hak
berdoa perorangan (bukan secara berkelompok), namun dalam prakteknya polisi Israel melarang orang Yahudi untuk berdoa
"secara terang-terangan dalam bentuk apapun juga di Bukit Bait Suci,
meskipun bila hanya menggerak-gerakkan bibirnya saja ketika berdoa".
Intifadah
Al-Aqsa
Pada tanggal 28 September 2000, Ariel Sharon dan para anggota Partai
Likud beserta 1.000 orang penjaga bersenjata, melakukan kunjungan ke
kompleks Al-Aqsa. Hal ini membuat sekelompok besar orang Palestina datang untuk
memprotes kunjungan tersebut. Setelah Sharon dan para anggota Partai Likud
meninggalkan lokasi, demonstrasi meletus menjadi kerusuhan dan sekelompok orang
Palestina yang berada di Al-Haram Asy-Syarif mulai melemparkan batu
dan benda-benda lainnya kepada polisi anti huru hara Israel. Polisi menembakkan
gas air mata dan peluru karet kepada kerumunan demonstran, sehingga
melukai 24 orang. Kunjungan tersebut memicu gerakan perlawanan rakyat Palestina
selama lima tahun, yang biasa disebut sebagai Intifadah Al-Aqsa. Pada tanggal 29 September,
pemerintah Israel mengerahkan 2.000 polisi anti huru hara ke masjid ini.
Sekelompok orang Palestina yang meninggalkan masjid setelah salat
Jumat mulai melempari polisi dengan batu. Polisi kemudian menyerbu kompleks
masjid serta menembakkan baik peluru tajam maupun peluru karet kepada kelompok
Palestina tersebut, sehingga jatuh korban empat orang tewas dan sekitar 200
orang lainnya luka-luka.
Penggalian[
Beberapa penggalian di wilayah
Masjid Al-Aqsa terjadi sepanjang tahun 1970-an. Tahun 1970, pemerintah Israel
memulai penggalian intensif langsung di bawah masjid pada sisi selatan dan
baratnya. Pada tahun 1977, penggalian berlanjut dan sebuah terowongan besar
dibuka di bawah ruangan ibadah wanita, serta sebuah terowongan baru digali di
bawah masjid, mengarah dari timur ke barat pada tahun 1979. Selain itu,
Departemen Arkeologi yang berada di bawah Kementerian Agama Israel, juga
menggali sebuah terowongan di dekat sisi barat masjid pada tahun 1984.
Pada bulan Februari 2007, Departemen
tersebut memulai situs penggalian untuk mencari peninggalan arkeologi di sebuah
lokasi di mana pemerintah ingin membangun kembali sebuah jembatan penyeberangan
yang runtuh. Situs ini berjarak 60 meter dari masjid. Penggalian memicu
kemarahan di banyak negara dunia Islam, dan Israel dituduh telah mencoba
menghancurkan pondasi masjid. Ismail Haniya, saat itu Perdana Menteri Otoritas
Nasional Palestina dan pemimpin Hamas,
menyerukan Palestina untuk bersatu dalam menentang penggalian, sedangkan Fatah
menyatakan bahwa mereka akan mengakhiri gencatan senjata mereka dengan Israel.
Israel membantah semua tuduhan tersebut, dan menyebutnya sebagai hal yang
"menggelikan".
sumber : wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar